Jakarta, jakartawaspada.com | Himpunan Disabilitas Muhammadiyah Daerah Khusus Jakarta (HIDIMU DKJ) menyoroti Pembentukan UU DKJ yang belum lama disahkan ini harus lebih menjawab apa yang menjadi keluhan dan kegelisahan kita sebagai difabel. Pasalnya, masih sebagai Ibukota DKI Jakarta saja, pemenuhan fasilitas pelayanan umum untuk diakses difabel belum seluruhnya terpenuhi dan merata terlebih pembangunannya kurang terawat dan memadai.
Indikator sederhananya, kelompok difabel bisa beraktivitas dan bermobilitas dengan nyaman sejak mereka berangkat dari rumah, jalan kaki ke halte atau stasiun, atau transportasi pribadi misalnya memodifikasi motornya dengan roda 3 (tiga), nyaman saat berada di dalam transportasi publik, dan nyaman saat turun dan berjalan kaki menuju tempat tujuan secara mandiri.
Mengenai hal-hal yang perlu ditingkatkan, misalnya pencantuman aksara Braille di fasilitas publik dan penggunaan pengeras suara di tempat penyeberangan orang. Lalu, ada trotoar ramah disabilitas yang ada harus lebih terjaga dan ditertibkan dari pedagang kaki lima ataupun tempat usaha lainnya, pejalan kaki terjaga keselamatannya yang menghubungkan dari dan ke stasiun kereta, halte, terminal bus, sekolah, pusat perbelanjaan, hingga taman.
Ketua Umum Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (HIDIMU) Daerah Khusus Jakarta, Muhammad Kahar atau yang akrab disapa Daeng Kahar berpendapat. Seusai pelantikan dan rapat kerja yang diadakan Hidimu Pusat, pengurus Hidimu DKJ dalam kesempatannya sepakat bahwa penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam proses pembangunan fasilitas umum sejak perencanaan, pencanangan, pembangunan, pengelolaan, hingga pengawasan mengingat Ibukota pindah di Kalimantan dan akan berlakunya DKJ yang didalamnya Kawasan Aglomerasi.
Kahar menggarisbawahi, bahwa Islam memandang semua manusia adalah setara. Yang membedakannya adalah tingkat ketakwaannya. Tak terkecuali bagi para penyandang disabilitas, mereka berhak mendapat perlakuan manusiawi dan layanan fasilitas.
Kota yang ramah difabel tidak hanya fokus pada peningkatan ekonomi, namun juga kebijakan dan pemberdayaan difabel, dalam berlakunya Kawasan Aglomerasi. Kami harus diberi pemahaman terkait berlakunya UU DKJ, dan Perda No.4 Tahun 2022 terkait pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Perlu juga untuk disosialisasikan betul tentang UU DKJ, sehingga tidak menjadi kekawatiran bagi temen-temen difabel akan ditinggalkan dan terabaikan.
Selain itu, pelibatan difabel harus diwujudkan dan dilibatkan serta ada qouta usulan, mulai dari Musrenbang ditngkat RW (Rukun Warga) dalam semua kebijakan, mulai dari lingkungan hingga akses perkotaan terlebih UU DKJ memperkuat Kelurahan dengan kucuran dana APBD minimal 5 persen. Selain itu, anggaran untuk disabilitas juga sebaiknya tersedia di setiap Suku Dinas, bukan hanya di Dinas Sosial, dan hanya terdata di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) setelah itu Pemprov lepas tangan.
HIDIMU DKJ berharap, DKJ nanti sebagai kota ramah difabel serta wilayah aglomerasi yang meliputi wilayah Provinsi DKJ, sebagian kawasan Provinsi Jawa Barat (Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Cianjur dan Kota Cianjur) dan Provinsi Banten (Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan) atau yang biasa disebut dengan Jabodetabekjur menjadi percontohan dan tanggung jawab bersama, termasuk masyarakat Jakarta. Baik Pemprov DKI maupun masyarakat, punya peran penting untuk membuat para penyandang disabilitas setara dengan yang lain serta siap secara mandiri dan bersama-sama walaupun statusnya sudah tidak menjadi Ibukota Negara.
(MK)